
Selama 14 abad ini, para pengikut Ahlul Bait tiap tahunnya
selalu mengenang peristiwa heroik Asyura yang sangat tragis. Mereka
mengenang kembali lembaran demi lembaran sejarah yang menghiasi
darah-darah suci yang tertumpah di Karbala. Mereka menangis, terkadang
sampai histeris. Di negeri-negeri muslim yang tradisi Syiah-nya sudah
sangat kental, Asyura berarti upacara-upacara duka dengan cara turun ke
jalan atau hadir di majelis-majelis duka cita.
Banyak kaum
muslimin dunia yang belum mengenal madzhab Ahlul Bait ini yang
mempertanyakan, mengapa orang-orang Syiah tiap tahun mengenang peristiwa
tragis ini? Mengapa kematian sekelompok orang yang sudah berlalu sekian
abad dari zaman kita masih terus ditangisi? Mengapa perasaan benci
terhadap para pembantai keluarga Nabi masih dipelihara oleh orang-orang
Syiah? Bukankah kita sebagai seorang muslim sudah seharusnya melupakan
masa lalu dan memaafkan segala kesalahan mereka?
Sejak Imam Husein
a.s. gugur di Karbala dan kepemimpinan atas ummat Islam atau imamah
berpindah tangan kepada puteranya Imam Ali bin Husein As-Sajjad a.s,
mengenang peristiwa pahit Karbala itu sudah diperintahkan oleh para
imam. Dalam berbagai kesempatan, para imam selalu meminta para penyair
dan orator terkenal di zamannya untuk membacakan kembali berbagai kisah
yang berlangsung pada tanggal 10 Muharam tahun ke-61 Hijriah tersebut.
Kita bisa mengemukakan sejumlah hal yang menyebabkan para imam sampai
menyuruh para pengikutnya agar menghidupkan terus peristiwa Karbala
dalam ingatan mereka.
Pertama, peringatan Asyura bisa menjadi
inspirasi bagi siapapun yang mendambakan keadilan untuk melakukan
gerakan kebangkitan. Sebagaimana yang tercatat dalam sejarah, situasi
represif yang ada pada zaman khilafah Yazid bin Mua’awiyah sudah
sedemikian buruknya sampai-sampai, saat menerima ancaman dari Yazid agar
membaiatnya sebagai khalifah, Imam Husein mengatakan, “Kita harus
melupakan Islam untuk selama-lamanya jika kaum muslimin harus diperintah
oleh orang semacam Yazid”.
Berbagai ciri-ciri masa jahiliah yang
hendak dikembalikan lagi oleh Bani Umayyah mencapai klimaksnya pada
zaman pemerintahan Yazid. Saat itu, Islam betul-betul tinggal nama.
Sedangkan perilaku keseharian yang dipraktikkan oleh mereka yang mengaku
sebagai pemimpin ummat Islam sudah sangat mirip dengan perilaku para
tokoh Qureisy di zaman jahiliah dulu. Fanatisme terhadap kaumnya
sendiri, taklid buta, dibuangnya rasa kemanusiaan, dan dicampakkannya
ilmu pengetahuan sudah menjadi perilaku sehari-hari kalangan istana Syam
tempat Yazid memerintah. Hal itu sangat terasa kontras dengan masa
beberapa dekade sebelumnya, saat pemerintahan Islam langsung dipegang
oleh Rasulullah SAWW.
Kembalinya masa gelap jahiliah kepada
kehidupan masyarakat adalah sebuah proses sejarah yang terus berulang
dengan instrumen yang berbeda-beda. Di setiap saat, selalu saja ada
gerakan yang dilakukan orang-orang jahat untuk mengembalikan masa
jahiliah. Dari sini, panji kebangkitan Asyura yang dipancangkan oleh
Imam Husein a.s. akan menjadi inspirasi yang tiada habisnya bagi para
pendamba keadilan. Mereka bisa melihat bahwa penegakan keadilan itu
harus dilakukan meskipun itu berarti hilangnya nyawa diri sendiri dan
sejumlah besar keluarga.
Di depan pasukan Ibnu Ziyad yang kemudian menjadi pasukan pembantainya di Karbala, Imam Husein mengatakan demikian.
“Wahai
ummat Islam, dengarlah kata-kataku. Aku pernah mendengar kakekku,
Muhamad SAWW, berkata bahwa selalu saja ada pemimpin yang mengaku
bergama Islam tetapi berperilaku represif. Ia merobek-robek janji yang
telah dibuatnya dengan Allah. Ia menentang sunnah Rasululllah. Ia juga
memerintah dengan cara-cara kejam dan maksiat. Siapapun yang melihat
pemimpin semacam itu tetapi ia tidak melakukan perlawanan dengan
tindakan maupun hanya sekedar kata-kata, maka Allah akan
membangkitkannya kelak di hari kiamat bersama pemimpin yang zhalim
tersebut”.
Peristiwa Asyura juga memberikan inspirasi kepada para
pejuang keadilan bahwa dalam pandangan Allah, kemenangan yang hakiki
terkadang tidak bisa tampak pada hal-hal yang sifatnya lahiriah. Pada
peristiwa Asyura, Imam Husein dan sahabat-sahabatnya malah terbantai.
Akan tetapi, kekalahan secara lahiriah itu malah merupakan sebuah
kemenangan hakiki. Dalam Islam, kemenangan hakiki akan diperoleh ketika
seseorang mengalahkan hawa nafsu dan bisikan setan hingga ia mampu
melaksanakan perintah Ilahi.
Tentu saja harus kita ingat bahwa
secara lahiriah pun, Imam Husein dan sahabat-sahabatnya sebenarnya bisa
disebut memperoleh kemenangan. Hanya saja, kemenangan itu bersifat
politis yang bisa tampak dari situasi yang tercipta setelah peristiwa
Karbala itu terjadi. Kaum muslimin yang selama ini tertipu oleh
konspirasi-konspirasi licik lingkaran elite politik Bani Umayah, sejak
syahidnya Imam Husein di Karbala, mulai sadar dengan ketertipuannya.
Saat itu pertanyaan-pertanyaan kritis mulai mengemuka: bagaima mungkin
seorang yang mengklaim diri sebagai khalifah kaum muslimin, akan tetapi
berani membantai keluarga Rasulullah? Posisi politis Yazid dan
antek-anteknya betul-betul hancur begitu Imam Husein gugur di Karbala.
Yang
juga tidak boleh dilupakan dari kekalahan Imam Husein secara militer
adalah fakta bahwa secara teoretis memang tidak mungkin mengharapkan
Imam Husein dan 72 sahabatnya bisa menang melawan pasukan Ibnu Ziyad
yang jumlahnya mencapai puluhan ribu. Seandainya kekuatan kedua pihak
berimbang atau minimalnya tidak timpang, bisa dipastikan bahwa Imam
Husein akan meraih kemenangan secara militer. Dalam pertempuran yang
lebih pas untuk dikatakan pembantaian itu, jumlah tentara Ibnu Ziyad
yang tewas pun sangat banyak.
Inilah yang bisa kita saksikan dari
kebangkitan revolusi Islam di Iran pimpinan Imam Khomeini. Kaum
revolusioner Iran mampu menumbangkan rezim despotik Syah dengan
menyandarkan inspirasi mereka kepada perjuangan revolusioner Imam Husein
di Karbala. Sejarah mencatat bahwa perlawanan fisik Imam Khomeini dan
sahabat-sahabat mulai menggelegak sejak Imam ditahan oleh pihak
keamananan kerajaan pada tanggal 5 Juni 1963, dan itu hanya terjadi tiga
hari setelah para ulama Iran menyerukan peringatan duka Asyura secara
nasional.
Dari Libanon selatan, para pejuang Hizbullah juga
berhasil mengusir tentara penjajah Israel yang didukung oleh peralatan
militer super canggih. Para pejuang Hizbullah yang mayoritasnya
bermadzhab Ahlul Bait itu mengaku bahwa secara mental, mereka tidak
pernah kelelahan ketika memperjuangan sesuatu yang sangat berat itu,
karena menurut mereka, hal yang jauh lebih berat pernah di ditanggung
oleh panutan mereka, yaitu Imam Husein a.s. dan sahabat-sahabatnya di
Karbala.
Para pejuang keadilan akan memiliki ketahanan mental dan
tidak akan mengenal lelah dalam perjuangan mereka jika mereka
menghidupkan terus peristiwa Asyura dalam benak mereka. Setiap detik
dari peristiwa yang terjadi di Karbala adalah elegi kepiluan yang sangat
sulit ditandingi oleh peristiwa apapun di sepanjang sejarah ummat
manusia. Karena itu, ketika berhadapan dengan hal-hal yang sangat sulit
sekalipun, seorang pejuang yang terus menghidupkan Asyura dalam benaknya
tidak akan pernah merasa putus asa karena yang dialami oleh Imam Husein
dan keluarganya di Karbala akan tetap jauh lebih sulit dibandingkan
dengan yang dialaminya.
Para veteran perang Iran akan selalu
mengisahkan heroisme yang mereka gelar dalam perang melawan tentara
Saddam dengan menyebut-nyebut kepiluan tragedi Karbala sebagai inspirasi
tiada habisnya hingga mereka bisa resisten di hadapan
kesulitan-kesulitan yang menghadang. Seorang veteran perang Iran pernah
menceritakan kesulitan yang dihadapinya ketika selama tiga hari
berturut-turut dikepung pasukan Saddam. Saat itu, ia dan dua orang
rekannya berada di sebuah pos penjagaan Khurramshahr yang sudah
ditinggalkan oleh tentara Iran lainnya. Kemungkinan besar, para tentara
Iran yang lain mengira bahwa ia dan dua rekannya sudah gugur ditembak
tentara Irak. Selama tiga hari terjebak di pos penjagaan itu, ketiga
tentara Iran tersebut diteror oleh tentara Irak dengan dengan cara yang
sangat tidak manusiawi. Simaklah penurutan sang veteran perang.
“Ketika
tentara Saddam datang, kami sedang berada di sebuah pos penjagaan,
sebuah ruangan kecil berukuran 1 x 2 meter. Mereka langsung mengepung
pos dari berbagai arah. Saluran listrik dan air yang tadiya terhubung ke
pos penjagaan mereka putus. Mereka kelihatan sekali ingin menyiksa
kami, karena kalau mau, mereka dengan mudah mengebom pos penjagaan
hingga kami bisa mati seketika. Tetapi yang mereka lakukan hanyalah
melakukan tembakan-tembakan ke arah tembok pos penjagaan. Mereka lakukan
semua itu sambil tertawa-tawa mengejek. Mungkin yang mereka inginkan
adalah kami melakukan bunuh diri karena tidak kuat dengan situasi yang
ada”.
“Situasi kami memang sangat sulit. Selama 72 jam kami
bertiga berada di sebuah ruangan kecil tanpa makanan dan minuman. Kami
bahkan tidak bisa buang air di tempat lain karena sedikit saja kami
memperlihatkan anggota badan kami, tentara Irak itu akan segera
menembaki kami. Kami akhirnya berhasil lolos setelah datang bantuan dari
rekan-rekan kami. Mereka yang kini mendengar penuturan saya mengenai
kesulitan yang kami hadapi saat itu mungkin akan menganggap kami sebagai
perjuangan yang sangat berat. Namun, sebenarnya tidak demikian.
Penderitaan kami tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan siksaan
yang dialami oleh Ali Al-Ashghar, bayi kecil yang selama tiga hari
tidak mendapatkan minuman apapun. Selama tiga hari itu, Ali Al-Ashgar
disengat teriknya mentari padang Karbala yang buas. Ketika Imam Husein
ingin memberitahukan penderitaan Ali Al-Ashghar kepada pasukan Ibu Ziyad
dengan cara mengusungnya di atas telapak tangan, yang diterima oleh Ali
Al-Ashghar malah sebuah anak panah yang menembus lehernya hingga ia
menjadi anggota kafilah termuda yang gugur dalam peristiwa Asyura”.
Dari
penuturan veteran perang Iran tadi, kita bisa melihat betapa sebuah
episode dari tragedi Karbala bisa membuat mereka bisa tabah dan bertahan
dalam menghadapi penderitaan yang luar biasa. Inspirasi untuk tabah
dengan cara mengingat terus tragedi Karbala tentulah tidak akan mungkin
bisa diperoleh oleh para veteran perang tadi seandainya Asyura tidak
mereka hidupkan dalam benak mereka. Dalam kehidupan sehari-haripun,
seorang yang terus mengenang peristiwa Asyura pasti akan mampu bersikap
resistan di hadapan segala macam kesulitan hidupnya.
Hal lain yang
sering menjadi bahan pertanyaan dari orang-orang yang belum mengenal
hakikat madzhab Ahlul Bait adalah terkait dengan masalah mengapa kita
harus terus memelihara rasa benci terhadap para pembantai keluarga
rasulullah di Padang Karbala yang peristiwanya terjadi belasan abad yang
lalu? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada beberapa hal yang harus
dipahami. Pertama, kebencian terhadap perbuatan buruk haruslah
dipelihara terus oleh seorang muslim. Inilah ajaran Al-Quran dan Sunnah
Rasul. Kedua, ada makhluk-makhluk tertentu di dunia yang menjadi
manifestasi utuh dari perbuatan buruk. Untuk itu, Al-Quran dan Sunnah
Nabi juga mengajarkan kepada kita untuk membenci makhluk tersebut.
Contoh paling jelas untuk hal ini adalah makhluk bernama Iblis. Sebagai
seorang muslim, kita diajarkan untuk memelihara kebencian Iblis dan
segala perbuatannya.
Pemeliharan kebencian terhadap keburukan dan
simbol keburukan itu diajarkan oleh agama supaya kita tidak tidak
terjatuh ke dalam perbuatan buruk itu. Yang menjadi pertanyaan kita
sekarang ini, apakah mungkin makhluk yang menjadi simbol perbuatan buruk
itu berupa manusia? Dengan kalimat lain, mungkinkah ada manusia yang
menjadi simbol perbuatan buruk tersebut sehingga ia dan segala
perbuatannya harus kita benci? Dalam sejarah ummat manusia Al-Quran
memperkenalkan tokoh-tokoh jahat semacam Qabil (putera Nabi Adam),
Namrud, Firaun, dll. Semasa Rasul hidup, Al-Quran juga melaknat sejumlah
orang munafik karena perbuatan buruk mereka.
Dari sisi ini, kita
bisa mengatakan bahwa pemeliharaan kebencian terhadap perbuatan jahat
dan para pelaku perbuatan itu sebagaimana yang digelar oleh para
pembantai keluarga Nabi di Padang Karbala bukan hanya tidak bertentangan
dengan ajaran agama, melainkan malah sebuah ajaran abadi yang harus
terus kita hidupkan. Itu semua karena karakteristik para pembantai
keluarga Imam Husein dan sahabat-sahabatnya sama dengan karakteristik
manusia-manusia yang dilaknat oleh Al-Quran.
Masalah terakhir yang
menjadi pembahasan kita sekarang ini terkait dengan ratapan dan
tangisan para pecinta Ahlul Bait saat mengenang peristiwa Asyura. Ada
sejumlah kalangan yang mempertanyakan, mengapa tragedi ini sampai harus
ditangisi padahal peristiwanya terjadi ratusan tahun silam? Untuk
menjawab pertanyaan ini, pertama harus diingat bahwa menangis adalah
reaksi refleks seseorang terhadap situasi emosional tertentu yang ada
dalam jiwanya. Episode demi episode dalam peristiwa Karbala memang
sangat mengiris hati. Karenanya, butiran air yang menetes dari mata
seseorang yang tersentuh hatinya ketika mengenang peristiwa Asyura
adalah sebuah proses fisiologis yang sangat alami.
Akhir-akhir
ini, para psikolog menyodorkan teori tangisan sebagai bentuk katarsis
atau pelepasan emosi yang menyumbat, sehingga kondisi emosional kita
yang terkadang berubah-ubah karena situasi tertentu bisa kembali
seimbang lewat tangisan tersebut. Para psikolog lainnya juga berbicara
mengenai butiran air mata yang bisa melembutkan hati. Walhasil, tangisan
pada dasarnya bukanlah sesuatu yang buruk.
Ada sejumlah pihak
yang menyebut tangisan sebagai simbol kecengengan atau malah simbol
ketidakrelaan kita atas kehendak Allah. Pernyataan ini memang bisa
dibenarkan dalam sejumlah kasus. Akan tetapi, jika dikaitkan dengan
tangisan terhadap peristiwa Asyura, pernyataan tadi menjadi tidak
relevan. Menangisi Asyura jelas bukan sebuah kecengengan. Justru kalau
ada orang yang mengetahui adanya tragedi dahsyat ini kemudian ia sama
sekali tidak bereaksi, itu menunjukkan bahwa hatinya sudah sekeras batu.
Meratapi tragedi Karbala juga tidak bisa dikategorikan sebagai
ketidakrelaan atas kehendak Allah karena yang tidak direlakan oleh para
pecinta Ahlul bait adalah perbuatan bengis Yazid dan tentaranya, yang
juga sama sekali tidak diridhoi Allah SWT.
sumber : presiden iran