- Sejak peristiwa 911 dan seruan Bush untuk
melakukan perang melawan teror, berbagai program, penelitian, dana dan
usaha serius dilakukan Barat dan sekutunya untuk menyambut seruan
tersebut.
Salah satu diantara program utama yang sampai sekarang masih
berlangsung dan terus dikembangkan adalah deradikalisasi. Terinspirasi
oleh kesuksesan Yaman tahun 2002 silam dalam melakukan proses
deradikalisasi atas beberapa tersangka yang terkait dengan terorisme,
program ini pun mulai gencar dikloning dan dikembangkan di negara lain,
termasuk Indonesia.
Berikut adalah beberapa program deradikalisasi yang dicanangkan di berbagai negara:
1. Yaman
Negara ini dianggap sebagai pionir dalam program deradikalisasi.
Beberapa program yang dilakukan diberbagai negara menjadikan model yang
diterapkan Yaman sebagai percontohan. Negara tersebut mulai menjalankan
program deradikalisasi pada tahun 2002 dengan membentuk Komite untuk
Dialog (Committee for Dialogue).Program ini
memprioritaskan dialog dan debat intelektual, dan bertujuan untuk
meyakinkan kepada para aktivis kekerasan atau mereka yang tersangkut
terorisme bahwa pemahaman yang mereka miliki adalah salah. Program ini
juga mencoba mempromosikan pemahaman Islam yang mendelegitimasi
kekerasan. Pelopor program ini adalah Hamoud al-Hittar. Dia mengatakan,
“Jika anda mempelajari terorisme di dunia, anda akan melihat bahwa ada
teori intelektual di belakangnya. Dan segala bentuk ide intelektual juga
bisa dikalahkan oleh intelektual.”
2. Arab Saudi
Arab Saudi mencoba untuk meniru apa yang dilakukan Yaman dan
memprioritaskan program dengan menggunakan tiga alat utama: kekuatan,
uang, dan ideologi. Program mereka dikenal dengan singkatan PRA, yaitu
Pencegahan (Prevention ), Rehabilitasi (Rehabilitation), dan Perawatan (Aftercare). Program
ini ditujukan kepada para tersangka terorisme dengan menggunakan
pendekatan dari berbagai sisi. Pendekatan utama dilakukan bersama dengan
para dokter, psikolog, dan ulama untuk mengikis dukungan kepada
ideologi kekerasan.
Selain itu, kampanye publik juga dilakukan dengan menunjukkan efek
kekerasan yang diderita para korban. Hal ini dilakukan untuk menurunkan
dukungan masyarakat atas ideologi kekerasan tersebut.
Saudi juga mengadakan kursus intensif yang ditujukan kepada para
anggota kelompok radikal. Didesain berdasarkan asumsi awal bahwa
ekstrimisme berakar dari “kesalahan” dalam menafsirkan Islam, program
ini mencoba untuk mengedukasi kembali para tersangka tersebut dan
mempromosikan pemahaman agama yang anti kekerasan. Lembaga agama yang
didukung oleh ulama terkemuka menerangkan kepada para peserta tentang
Islam yang sebenarnya, tentu saja berdasarkan pemahaman mereka. Diskusi
ini dilanjutkan dalam kelas intensif agar para peserta mendapatkan
pemahaman yang berimbang tentang Islam. Beberapa peserta menangis dan
menyadari bahwa mereka telah ‘merusak’ prinsip agama mereka.
Program ini juga didukung oleh pelibatan keluarga dalam proses
rehabilitasi dengan mengajak mereka untuk ikut mengontrol para peserta
program tersebut.
3. Mesir
Di Mesir, keputusan yang diambil oleh satu kelompok ternyata juga
mempengaruhi kelompok lain. Pada tahun 1990-an, Jamaah Islamiyah Mesir
mengalihkan taktik mereka dari strategi perjuangan dengan senjata
menjadi perjuangan intelektual. Keputusan ini didasari oleh
ketidakpuasan dan kelelahan. Selain itu, represi yang sangat kuat dari
pemerintah saat itu juga berperan penting dalam perubahan kebijakan
mereka. Dampaknya, pemerintah Mesir pun menyambut positif dan mulai
melakukan pendekatan yang lebih lunak atas mereka, dengan memfasilitasi
rapat diantara pimpinan Jamaah Islamiyyah dan anggota mereka yang
dipenjara.
4. Indonesia
Di Indonesia, program deradikalisasi mulai diterapkan sekitar tahun
2002. Pada saat itu, Menkopolkam (Susilo Bambang Yudoyono) diamanatkan
untuk membuat kebijakan dan strategi nasional penanganan terorisme
sampai terbentuknya organisasi BNPT untuk membantu Menkopolkam
merumuskan kebijakan pemberantasan tindak pidana terorisme, yang
meliputi aspek penangkalan, pencegahan, penanggulangan, penghentian
penyelesaian, dan segala tindakan hukum yang diperlukan.
Selanjutnya pada 2010 dibentuklah BNPT yang dipimpin oleh Ansyaad
Mbai. Bulan Oktober 2012 silam, pemerintah Indonesia berusaha menyusun blue print deradikalisasi
dengan melibatkan 24 lembaga pemerintah dan kementrian. Antara lain
Kementrian Agama, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementrian
Pemuda dan Olahraga, Kementrian Sosial. TNI, Kepolisian RI.
Psikolog Profesor Sarlito Wirawan juga dilibatkan dalam program
deradikalisasi. Menurutnya, program ini dilakukan melalui pendekatan
personal untuk mengubah cara pandang mereka dan selanjutnya diberi
pelatihan dan disebar ke sejumlah wilayah untuk berdakwah agar umat
tidak memilih jalan kekerasan.
Aparat Densus 88 juga mendekati keluarga tersangka terorisme dan
memberikan bantuan bagi anggota keluarga mereka yang putus sekolah,
sakit dan kebutuhan keluarga lainnya.
Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme BNPT
Irfan Idris menjelaskan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan oleh
BNPT adalah dengan melibatkan para pelaku tindak pidana terorisme yang
masih berada di Lembaga Pemasyarakatan. Selain itu juga melakukan upaya
pencegahan dengan mengajak pemimpin daerah dan tokoh agama untuk
melakukan upaya preventif mengatasi radikalisme. Menurut Irfan beberapa
program yang dilakukan antara lain melalui pendekatan budaya, bisnis dan
ideologi.
Selain deradikalisasi, BNPT juga membentuk Forum Koordinasi
Pencegahan Terorisme untuk mencegah penyebaran paham radikal, dan sudah
berdiri di 10 kota.
5. Singapura
Di Singapura, Tujuh puluh tiga orang telah ditahan sejak pemerintah
setempat mengadakan program rehabilitasi tahun 2002. Proyek ini meliputi
sesi bersama psikolog, sesi konseling yang melibatkan para tahanan dan
keluarganya, dan juga program rehabilitasi agama, yang merupakan
komponen utama dalam program ini. Pemerintah Singapura mengeluarkan
banyak dana untuk menjalankan program ini dan nampaknya usaha mereka
membuahkan hasil.
6. Malaysia
Di Malaysia, lima puluh tujuh orang ditahan dalam program
deradikalisasi yang dijalankan pemerintah Malaysia tahun 2007. Program
ini ditandai dengan aturan keamanan yang cukup kontroversial, dimana
pemerintah berhak memperpanjang masa penahanan tersangka teroris meski
belum menemukan bukti.
Dari berbagai program tersebut, bisa disimpulkan bahwa ada beberapa elemen kunci dalam proses “rehabilitasi” teroris, yaitu:
1. Trauma personal, seperti pengalaman tempur atau meninggalnya rekan atau keluarga mereka karena ideologi yang mereka anut.
2. Kekecewaaan pada pimpinan kelompok
3. Stres atau kejenuhan yang timbul saat bergabung bersama kelompok tersebut
4. Keinginan untuk hidup normal, seperti menikah, bekerja, atau kembali ke keluarga
5. Tekanan dari keluarga/teman—terutama orang tua dan pasangan.
sumber ; http://www.eramuslim.com/konsultasi/konspirasi/deradikalisasi-negara.htm#.UQh_YKCL36g
Tidak ada komentar:
Posting Komentar