Kalau kita saksikan dikebanyakan masjid-masjid
saudara kita, Ahlussunnah, kita sering menjumpai pada malam-malam bulan
Ramadhan terdapat ritual shalat berjamaah yang jumlah raka’atnya
sebanyak 8 rakaat, 20 raka’at atau 36 rakaat. Konon Rasulullah Saw hanya
mengerjakan 8 rakaat secara berjamaah kemudian melanjutkannya di rumah.
Hal ini juga diikuti oleh para sahabat.
Namun,
bagaimana sebenarnya hukum shalat Tarawih ini? Berikut ini mari kita
menyimak tulisan berikut ini dengan tajuk “Bid’ah yang Indah itu..
Dari kitab Sahih Bukhari[1] dan Sahih Muslim[2]
kita dapat mengambil pelajaran bahwa pada zaman Nabi Muhammad Saw dan
pada zaman kekhalifahan Abu Bakar serta pada beberapa waktu pemerintahan
Umar, tidak terdapat ritual shalat Tarawih. Hingga pada suatu waktu
dari salah satu malam-malam bulan Ramadhan, Umar masuk ke Masjid dan
menyaksikan masyarakat melakukan shalat secara sendiri-sendiri
(munfarid). Ia juga melihat di salah satu sudut masjid itu, ada
sekelompok kaum muslim melaksanakan shalat secara berjamaah.
Kemudian Umar berkata, “Kalau semua orang melaksanakan shalat secara berjamaah pasti akan menarik. Lalu ia
mengumpulkan mereka untuk melaksanakan shalat di bawah pimpinan seorang
imam (Ubay bin Ka’ab). Pada malam berikutnya ia masuk masjid itu dan
menyaksikan jamaah masjid melaksanakan shalat secara berjamaah, seraya
mengucapkan “Ni’mal bid’atu hadzihi“[3].
(Alangkah indahnya bid’ah ini). Jadi pendapat yang mengatakan bahwa
bilangan rakaat salat Tarawih itu sebanyak 20 rakaat merupakan pendapat
Khalifah Umar bin Khatab.
Al-’Allamah
al-Qasthalani, ketika sampai pada ucapan Umar dalam hadits tersebut
(yakni alangkah baiknya bid’ah ini) berkata: “Ia (Umar) menamakannya
bid’ah, sebab Rasulullah Saw sendiri tidak menjadikannya sebagai sunnah
kepada mereka untuk dilakukan secara berjamaah. Hal itu juga belum
pernah terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar, baik tentang waktu
pelaksanaannya, atau tentang pelaksanaannya pada tiap malam Ramadhan,
ataupun tentang jumlah rakaatnya.[4]
Dalam kitab Fiqh ‘alal Madzahib al Arba’ah[5]
ihwal shalat Tarawih, “Adalah mustahab apabila shalat Tarawih ini
dilaksanakan secara berjamaah, namun jumlah rakaatnya bukan 20 rakaat
dan baru beberapa lama setelah itu ditambahkan. Dari kitab ini juga Anda
bisa mengetahui seluk beluk salat Tarawih ini. Penyusun kitab ini,
Abdul Rahman al-Jazairi menjelaskan bahwa: “Syaikhan, (Imam Bukhari dan
Muslim) meriwayatkan sebuah hadits bahwa Rasulullah Saw keluar dari
rumahnya pada tengah malam di bulan suci Ramadhan, yaitu pada malam
ketiga, kelima dan kedua puluh tujuh, secara terpisah. Kemudian beliau
Saw shalat di dalam masjid. Jamaah masjid pun turut pula melakukan
shalat di dalam masjid beliau. Ketika itu beliau Saw melakukan shalat
sebanyak 8 rakaat. Tetapi kemudian mereka menyempurnakan shalat mereka
di rumah mereka masing-masing…” Kemudian Abdul al-Jaziri menyimpulkan
pandangannya sendiri dari riwayat tersebut dan berkata: “Dari riwayat
ini jelaslah bahwa Nabi Saw telah menetapkan kesunahan shalat Tarawih
secara berjamaah. Tetapi beliau Saw tidak melakukannya -bersama-sama
dengan mereka- sebanyak 20 rakaat, sebagaimana yang dilakukan pada masa
sahabat (pasca wafat Rasulullah Saw) dan pada masa-masa selanjutnya
hingga sekarang ini. Setelah keluar pada tiga malam itu, beliau Saw
tidak keluar lagi karena takut nantinya shalat itu akan diwajibkan atas
mereka sebagaimana yang juga pada riwayat lainnya. Dan telah jelas pula
bahwa jumlah rakaatnya tidak terbatas hanya 8 rakaat saja sebagaimana
yang beliau lakukan bersama mereka. Dalilnya adalah bahwa mereka
menyempurnakannya di dalam rumah-rumah mereka. Sementara perbuatan umar
menjelaskan bahwa jumlah rakaatnya adalah 20. Dimana ketika itu (ketika
Umar berkuasa sebagai Khalifah) dia menganjurkan kaum muslimin agar
melakukan shalat Tarawih di dalam masjid sebanyak 20 rakaat, dan hal itu
disetujui oleh para sahabat Nabi Saw.
Pada
masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz penambahan rakaat shalat Tarawih
terjadi lagi sampai 36 rakaat. Tujuan penambahan tersebut ini untuk
menyesuaikan keutamaan dan kemuliaan penduduk kota Makkah. Karena mereka
melakukan thawaf (mengelilingi Ka’bah) satu kali setelah setiap 4
rakaat. Berdasarkan hal itu, Umar bin Abdul Aziz menganggap perlu untuk
menambahkan dalam setiap thawaf sebanyak 4 rakaat”.[6]
Dalam salah satu kitab fiqih Sunni “al-Mughni“,
ulama Ahli Sunnah yang bernama al-Kharqi berata bahwa shalat Tarawih
itu dilakukan sebanyak 20 rakaat. Ibnu Quddamah, seorang ulama Sunni
terkenal lainnya berkata di dalam syarahnya bahwa menurut pandangan Imam
Ahmad bin Hanbal, yang lebih kuat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah 20
rakaat. Hal ini persis dengan pendapat as-Tsauri, Abu Hanifah dan Imam
Syafi’i. Namun Imam Malik berpendapat bahwa shalat Tarawih itu berjumlah
36 rakaat. Dia mengatakan bahwa hal itu sesuai dengan perbuatan
orang-orang Madinah.
Dalam pandangan
madzhab Ahli Sunnah, keotentikan kitab al-Bukhari menempati urutan ke
dua setelah Al-Qur’an dan sangat banyak yang memberikan komentar atas
kitab ini. Dalam kitab ini, para komentator itu memberikan pandangan
beragam tentang jumlah rakaat yang ada pada salat Tarawih, sebagian
mereka mengatakan bahwa jumlah rakaat shalat Tarawih itu adalah 13
rakaat, yang lainnya mengatakan 20 rakaat, kelompok yang lain
berpendapat 24 rakaat, ada yang mengatakan 28 rakaat, sebagian lagi
berujar 36 rakaat, ada juga yang mengatakan 38 rakaat, sebagiannya lagi
mengatakan 39 rakaat, pendapat selanjutnya adalah 41 rakaat, pendapat
lainnya adalah 47 rakaat, dan begitu seterusnya.
Ibnu
Abdil Bar menulis: “Dialah Umar yang telah menyemarakkan bulan suci
Ramadhan dengan shalat yang jumlah rakaatnya genap (yakitu shalat
Tarawih)”[7]
Al-Allamah
Abu Al-Walid Muhammad bin Syuhnah berkata: Dan dia pulalah orang
pertama yang menyelenggarakan shalat Tarawih berjamaah dengan dipimpin
oleh seorang imam….”[8]
As-Suyuthi menulis di dalam kitabnya Tarikhul Khulafa’
tentang hal-hal baru yang diciptakan oleh Umar, diantaranya ia berkata:
“Dialah orang pertama yang mentradisikan shalat Tarawih pada
malam-malam bulan Ramadhan”
Imam
al-Bukhari -setelah meriwayatkan sebuah hadits Rasulullah Saw yang
berbunyi: “Barangsiapa yang melakukan shalat (sunat) pada malam bulan
Ramadhan……dst”- berkata: “….Sedemikian itulah keadaannya sampai
Rasulullah Saw wafat, dan juga pada masa Khalifah Abu Bakar serta
sebagian dari masa Khalifah Umar. (Yakni, yang pada masa-masa itu belum
dikenal “shalat Tarawih”[9]
Muslim pun -di dalam kitab Shahih-nya- mengutip hadits yang sama dan kemudian memberikan komentar yang sama.[10]
Kiranya perlu diingat bahwa setelah pengarang kitab Fiqh ‘alal al Arba’ah menjelaskan permasalahan ini, ia kemudian memberikan pembenaran atas bid’ah yang dilakukan oleh Umar ini:[11]
Mengapa
bid’ah ini diperbolehkan? Bukankah bid’ah yang sangat berpengaruh ini
merupakan bentuk kesesatan? Apakah merupakan pengecualian yang berasal
dari Nabi Saw?
Apakah dengan digantinya
11 rakaat sebagai shalat malam, 20 rakaat yang dilakukan tidak
bertentangan dengan petunjuk yang diberikan oleh Nabi Saw?
Apakah menghatamkan seluruh Al Qur’an di antara jamaah masjid sebagai sebuah ibadah yang sunah dan bukan merupakan suatu bid’ah?
Apakah Umar berkata, “Lakukan 20 rakaat atau khatamkan Al Qur’an bagi mereka?
Apakah Umar memerintahkan supaya shalat Tarawih dilakukan di seluruh masjid?
Jawaban
dari seluruh pertanyaan ini adalah iya. Shalat Tarawih yang digagas
oleh ‘Umar ini merupakan suatu bid’ah. Oleh karena itu dalam fiqh Ahlul
Bayt As terdapat pelarangan untuk melaksanakan shalat Tarawih karena
tidak berasal dari sunnah Nabi Saw, melainkan merupakan sunnah Khalifah
Kedua yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum.
Tentang
solat malam pada bulan Ramadhan (qiyamulail fi Ramadhan) menurut
pandangan madzhab Ahlulbait As, memang berbeda dengan madzhab Sunni,
baik dalam jumlah rakaatnya maupun dalam waktu dan doa-doa dan cara-cara
lainnya. Aimah As dan ulama mereka tidak berbeda pendapat mengenai
jumlah rakaat dan cara melakukan shalat-shalat malam Ramadhan tersebut.
Maksumin As dan para ulama AhlulbaitAs melakukan shalat atau qiyamulail
pada bulan suci Ramadhan sebanyak seribu rakaat, selama sebulan penuh.
Semenjak malam pertama bulan Ramadhan mereka melakukan solat sebanyak
dua puluh rakaat. Hal ini mereka lakukan hingga malam ke dua puluh, di
mana jumlah keseluruhan dari solat yang mereka lakukan adalah empat
ratus rakaat. Selebihnya, yaitu dimulai semenjak malam ke-21 sampai
malam terakhir, mereka melakukannya tiga puluh rakaat. Jadi selama
sepuluh malam berjumlah tiga ratus rakaat. Sedang pada tiga malam
ganjil, yaitu malam ke 19, 21 dan 23, mereka menambahkannya menjadi
seratus rakaat, yang jumlah keseluruhan pada tiga malam ini adalah tiga
ratus rakaat. Menurut pandangan madzab Ahlulbait, tiga malam ganjil
adalah malam-malam Lailatul Qadar dan mempunyai keutamaan dan kemuliaan
ketimbang seribu bulan ibadah. Pada malam-malam lailatul Qadar
amalan-amalan yang sangat dianjurkan di antaranya adalah mengadakan
perenungan terhadap keadaan diri sendiri, mengadakan majelis-majelis
keilmuan, selalu mengingat Allah Swt dengan zikir-zikir yang telah
diajarkan oleh para Imam As, bertawassul kepada Ahlulbait As, berdoa
dengan khusyu dan lainnya.
su7mber : irib
Tidak ada komentar:
Posting Komentar