Disebutkan
dalam sebuah riwayat bahwa manusia ibarat tambang emas dan perak. Di
dalam hadis lain, Rasulullah saww mensifati ilmu sebagai mata air yang
jika seorang penuntut ilmu bersandar kepada Allah maka kebaikan dan
berkah Allah akan mengalir baginya. Dari dua hadis ini dapat disimpulkan
bahwa sebagai mahluk, manusia tidak diciptakan tanpa modal dan background apapun.
Ilmu yang didapatkan manusia dari lembaga pendidikan formal atau non
formal, hauzah maupun universitas merupakan modal dan simpanan bagi diri
manusia. Di dalam diri manusia tersimpan rahasia yang dapat
diungkapkan. Dalam surat an-Nahl/78, Allah swt berfirman: “Allah telah mengeluarkan kalian dari perut ibu sedangkan kalian tidak mengetahui apa-apa”.
Pengertian
ilmu yang disinggung dalam ayat ini adalah ilmu hushuli yang didapatkan
dari buku atau guru. Ketika segala sesuatu (termasuk ilmu) disandarkan
kepada Allah maka ia tidak akan pernah kosong dalam diri manusia. Hal
ini disinggung dalam ayat 29 Surah Hijr, ketika Allah berfirman: “Dan Aku tiupkan ruh-Ku kepadanya”.
Ayat ini tidak berbicara tentang nabi Adam saja sebagai makluk pertama
Allah yang diciptakan di muka bumi, akan tetapi ayat ini berbicara
tentang seluruh umat manusia sepanjang masa. Kata ruhdalam
ayat tersebut kembali kepada Allah swt, ketika Dia meniupkan ruh-Nya
kepada manusia maka manusia dengan ruh yang ditiupkan tersebut akan
mampu menyandang kesempurnaan yang dimiliki-Nya. Dan salah satu bentuk
kesempurnaan yang dimiliki-Nya adalah ilmu dan pengetahuan. Hadis di
atas ingin menjelaskan bahwa sejak awal penciptaannya, manusia sudah
disiapkan dan dibekali sesuai dengan kapasitasnya; bagaikan wadah yang
siap menampung air. Ketika manusia selalu mencari nilai-nilai
kesempurnaan (ilmu) maka peluang wadah untuk mendapatkan anugrah Ilahi
akan semakin besar; anugrah yang dapat dinikmati dan dimanfaatkan bagi
dirinya dan orang lain. Namun, jika modal pemberian Allah tersebut
hilang disebabkan kebodohan teoritis atau kebodohan praktisnya maka
wadah tersebut lambat laun akan mengecil dan bahkan akan sirna.
Dalam salah satu ucapan penuh makna, Imam Ali as bersabda: “Sesungguhnya hati adalah wadah dan sebaik-baik wadah adalah yang diisi dan dipenuhinya”.
Sebaik-baiknya hati adalah hati yang selalu ditanami nilai-nilai
kesempurnaan dan salah satu bentuk dari kesempurnaan tersebut adalah
ilmu. Oleh karena itu, pada hakikatnya manusia telah diciptakan dengan
dua modal: hati yang selalu aktif dan potensi yang jika keduanya
dikembangkan untuk mencari nilai-nilai ilmu, maka manusia akan menjadi
mishdak dari hadis di atas. Sedangkan seseorang yang tidak menggunakan
dan mengembangkan keduanya, lalu apa yang bisa diharapkan darinya?
Sebagian
kalangan beranggapan bahwa kedua modal yang dimilikinya itu sudah
cukup sehingga ia tidak perlu berhubungan dengan orang lain dan menimba
ilmu dari orang lain. Sebagian lagi selalu ingin membandingkan dan
membenturkan pandangannya dengan pandangan orang lain. Sudah pasti,
kelompok kedualah yang akan menemukan kebenaran. Bukankah Imam Ali as
pernah bersabda: “Benturkan sebagian pandangan yang kalian miliki dengan pandangan yang lain; maka akan muncul kebenaran”.
Maksud dari hadis ini adalah bahwa perkembangan sebuah ilmu dapat
diperoleh melalui tanya-jawab, kritik, sanggahan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, orang yang memperoleh ilmu melalui penelitian dan
menganalisa sebuah pandangan akan memiliki nilai tambah dari sisi
keilmuannya.
Lebih
jauh lagi, jika sebuah masyarakat mampu bersama-sama melakukan tugas
yang ditetapkan oleh para nabi maka masyarakat tersebut akan
menciptakan sebuah revolusi budaya spektakuler. Bukankah salah satu
misi para nabi sebagai utusan Allah adalah menciptakan revolusi budaya
umat manusia. Dan revolusi ini akan terwujud ketika hati manusia bangkit
dan tergerak, kembali dan kepada fitrah penciptaannya. Imam Ali as
bersabda: “Dan peranan mereka—para nabi—adalah mengerakkan hati-hati manusia”.
Revolusi budaya yang merupakan salah satu tujuan diutusnya para nabi
akan selalu menjadi tugas besar bagi umat manusia yang ingin menuju pada
kesempurnaan.
Lalu
bagaimana proses menuju pada kesempurnaan tersebut? Al-Quran
memrintahkan; lakukanlah sesuatu yang bisa kamu lakukan! Janganlah
berbuat makar/tipu daya. Dalam surat Anfal/29, Allah berfirman: “Jika kalian bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan memberikan furqaan” (petunjuk
yang dapat membedakan antara yang baik dan buruk). Jika saja manusia
menjadi ahli taqwa dan furqaan maka Allah akan memberikan kepadanya
kemampuan dan kekuataan. Tapi mengapa begitu banyak manusia yang larut
dalam kebinggungan serta sulit untuk membedakan antara yang hak dan yang
batil? Mengapa dari sekian aliran yang beragam manusia tidak mampu
mengenali kebenaran?
Untuk
mengatasi masalah di atas, ada dua jalan yang dapat ditempuh yaitu
makrifatullsh atau jalan fitrah yang tertanam dalam hati manusia. Ketika
seseorang telah mengetahui mana jalan yang benar lalu ia mengikuti
jalan tersebut dan itulah hasil akhir dari penelitiannya, maka Allah
pasti tidak akan menyia-nyiakan perbuatannya: “Dan barang siapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberikan petunjuk kepada hatinya.” (At-Thaghabun/11)
Batas
antara kebenaran dan kebatilan adalah hal pertama yang harus dikenali
dan diketahui. Manusia sering kali terjebak dan terperosok dalam
menentukan kebenaran dan kebatilan dan menganggap bahwa kebenaran dan
kebatilan harus selalu dilihat dari figur seseorang, kuantitas dan lain
sebagainya. Sebagai contoh, dalam perang Jamal dikisahkan bahwa Haris
bin Haut bertanya kepada Amirul mukminin Ali as: “Apakah mereka yang memerangi kita berada dalam kebatilan sedang kita berada dalam kebenaran?”. Imam menjawab: “Sungguh kamu hanya melihat kebawah dan tidak melihat ke atas sehingga kamu kebingungan!”
Imam ingin mengajarkan kepada sahabatnya bahwa dengan melihat standar
dan tolak ukur kebenaran dan kebatilan baru kita dapat mengetahui siapa
yang berada dalam garis kebenaran dan siapa yang berada dalam garis
kebatilan.
Tugas
penting kita adalah memahami sebuah kebenaran dan lebih baik lagi jika
kita selalu seiring dan sejalan dengan kebenaran dan dapat menjadi ahli
daohir dan ahli batin. Itulah sebabnya mengapa dalam Surat Ruum/7,
al-Quran menyinggung: “Mereka hanya mengetahui yang lahir (saja) dari kehidupan dunia; sedang mereka lalai akan (kehidupan) akherat.” Ayat
ini memberikan indikasi bahwa akherat adalah batinnya dunia dalam
artian bahwa dzahir dunia yang kita lihat dan kita rasakan ternyata
memiliki batin, namun kita melalaikannya sehingga kita tidak dapat
merasakan keberadaannya.
Untuk
mencapai kesempurnaan tersebut, di perlukan sarana, salah satunya
adalah dengan menuntut ilmu yang dibarengi dengan keikhlasan dalam
ucapan maupun amal. Bukankah ilmu ibarat cahaya dalam kegelapan yang
menerangi jiwa?. Dengan demikian apakah cahaya yang kita dapati itu
dengan mudah kita buang dan jual dengan harga yang rendag?. Dengan
menuntut ilmu akan kita dapati hal-hal yang kita tidak dimiliki
sebelumnya dan dengan itu maka dan kedzoliman akan sirna bagaikan buih
yang terhempas ombak air. Allah swt berfirman: “Adapun
buih itu, akan hilang sebagai sesuatu yang tak ada harganya; adapun
yang memberi manfaat kepada manusia maka ia tetap di bumi. [Ar-Raad/17]
Mudah-mudahan
kita mampu mengoptimalkan segala potensi yang kita miliki dengan
mencari kesempurnaan ilmu dan mengamalkannya sehingga kita sampai
kepuncak kebenaran dan dapat mewujudkan misi yang dibawa oleh para nabi
dan menjadi pelanjut mereka di muka bumi.
sumber;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar